Ini Kisah yang dishare temennya Irhas
Malin Sinaro… menarik untuk disimak dan direnungkan….
Ada dua kelompok ayam. Yang pertama ayam kampung yang dipelihara
begitu saja. Pagi dia dilepas oleh tuannya. Sore sebelum magrib dia sudah
pulang ke kandang. Dari pagi sampai sore itulah waktu bagi ayam ini untuk
mencari makan. Dalam bahasa dan petuah tukang dendang disebutkan “indah
mangakeh indak makan” . begitulah kira-kira gambaran ayam ini.
Kelompok kedua adalah ayam pedaging
(ayam potong) yang tinggal di kandang dari pagi sampai paginya lagi. Dia tidak
pernah keluar kandangnya. Makan dan minumnya diberikan oleh tuannya. Dia hanya
tinggal makan dan minum.
Pada suatu kesempatan ayam kampung
singgah main dekat kandang ayam potong. Lalu terjadilah dialog singkat penuh
makna. Ayam kampung bercerita tentang keluhan dan kesulitan hidupnya. “Alangkah
senangnya hidup kalian. Jika ingin makan, tinggal makan. Jika ingin minum,
sudah tersedia. Jika malam, tetap terang-benderang. Sewaktu kecil kalian diberi
imunisasi. Jika sakit sedikit saja, langsung diberi obat oleh tuan kalian. Ini
sangat bertolak belakang dengan perlakuan yang kami terima dari tuan kami.
Apakah takdir yang kami terima begitu kejam dan tidak bersahabat dengan kami?
Ataukah kami memang terlahir sebagai ayam yang sial dan tidak berguna? Atau
mungkin karena warna bulu kita berbeda?”
Mendengar cerita itu, ayam potong
menjawab. “Memang betul apa yang kamu sebutkan. Benar¸kami tinggal makan dan
minum seenak dan sepuas kami. Betul, kami diberi vaksinasi sewaktu kecil dan
jika sakit kami langsung diberi obat. Kami memang tidak kenal kegelapan karena
kandang kami diberi penerangan lampu. Tapi tahukah engkau sisi lain dari
kehidupan kami? Tahukah engkau betapa rentannya kami terhadap kemungkinan
terserang berbagai penyakit? Sadarkah engkau bahwa kamu bisa menikmati alam
bebas yang kami tidak pernah alami muali dari kami ditetaskan sampai kami
dipotong? Pernahkah engkau merasakan betapa panasnya di dalam kandang ini di
siang hari? Pernahkah terpikir olehmu baru berusia dua puluh hari sudah
dipotong?”
Mendengar komentar dan pertanyaan
yang disampaikan oleh ayam potong itu, ayam kampung langsung tersentak dan
tidak bias berbicara apa-apa. Dia hanya diam seraya pulang ke komunitasnya
dengan penuh empati berbalut kesedihan jika mengingat nasib yang ditimpa oleh
ayam potong. Dalam hal itu ayam kampong tidak lupa bersyukur dengan nasib dan
“takdir” yang ditimpakan kepadanya.
Cerita ini disampaikan oleh seorang
nelayan tua di Korong Ujung Labung Kecamatan Batang Gasan Kabupaten Padang Pariaman.
Cerita ini bukan hanya sekedar cerita biasa atau sekedar dongeng sebelum tidur.
Cerita ini penuh makna. Bapak nelayan ini menyampaikan ceritanya ketika saya
tanya tentang profesinya yang melaut dari kecil sampai sekarang dia tua.
Mengapa betah dengan profesi melaut? Bukankah ada juga pekerjaan lain yang
lebih banyak mendatangkan uang ataupun setidaknya lebih sedikit resikonya. Sang
bapak menjawab hanya dengan cerita ini.
Kira-kira cerita ini sudah menjawab
pertanyaan saya, anda dan kita semua tentang sesuatu yang kita pandang buruk
pada diri kita dan mungkin baik pada orang lain. Ternyata sisi pandang kita itu
tidak selamanya betul jika kita perbandingakan dengan sisi pandang orang lain.
Terkadang kita hanya bisa melihat sisi baik ataupun “sesuatu yang enak, enteng
dan mudah” yang ada pada orang lain bersamaan dengan melihat sisi buruk atau
“sesuatu yang dianggap “tidak enak, berat, susah” dan sebagainya. Kita kadang
lupa dengan sisi positif dan kelebihan yang ada pada diri kita bersamaan dengan
tidak memandang resiko dan tantangan yang harus dihadapi oleh orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar